KODE ETIK HAKIM

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Tugas hakim adalah mengkonstatir, mengkwalifisir dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus dikonstatirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikwalifisir, pasal 5 ayat 1 UU. 14/1970 mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.
Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga walaupun itu keluarganya, kalau sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama.
Hakim harus berpegang kepada Tri Parasetya Hakim Indonesia. Hakim harus dapat membedakan antar sikap kedinasan sebagai jabatannya sebagai pejabat negara yang bertugas menegakkan keadilan dengan sikap hidup sehari-hari sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat.
Untuk membedakan itu hakim mempunyai kode etik sendiri bagaimana supaya dia dapat mengambil sikap. Zaman sekarang kadang-kadang hakim salah menempatkan sikapnya, yang seharusnya sikap itu harus dilingkungan keluarga, ia bawa waktu persidangan. Ini tentunya akan mempengaruhi putusan.
Masalah kode etik inilah yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini. Supaya hakim-hakim agar lebih memperhatikan lagi tugasnya sebagai penegak keadilan di dalam masyarakat.

A. PENGERTIAN HAKIM
Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim disebut juga kode kehormatan hakim.[1] Hakim juga adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhetian dan pelaksanaan tugasnya ditentukan oleh undang-undang.
B. KEWAJIBAN / TUGAS HAKIM
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan mempunyai kewajiban yaitu :
1. Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tangah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
2. Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana.
Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan.
Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.[2]
C. TANGGUNG JAWAB HAKIM
1. Tanggung Jawab Hakim Kepada Penguasa
Tanggung jawab hakim kepada penguasa (negara) artinya telah melaksanakan peradilan dengan baik, menghasilkan keputusan bermutu, dan berdampak positif bagi bangsa dan negara.
a. Melaksanakan peradilan dengan baik. Peradilan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masayarakat, dan kepatutan (equity).
b. Keputusan bermutu. Keadilan yang ditetapkan oleh hakim merupakan perwujudan nilai-nilai undang-undang, hasil penghayatan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, etika moral masyarakat, dan tidak melanggar hak orang lain.
c. Berdampak positif bagi masyarakat dan negara. Keputusan hakim memberi manfaat kepada masyarakat sebagai keputusan yang dapat dijadikan panutan dan yurisprudensi serta masukan bagi pengembangan hukum nasional.
2. Tanggung Jawab Kepada Tuhan
Tanggung jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya telah melaksanakan peradilan sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, menurut hukum kodrat manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui suara hati nuraninya.
D. KODE ETIK HAKIM
Untuk jabatan hakim, Kode Etik Hakim disebut Kode Kehormatan Hakim berbeda dengan notaris dan advokat.
Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Oleh karena itu Kode Kehormatan Hakim memuat 3 jenis etika, yaitu :
1. Etika kedinasan pegawai negeri sipil
2. Etika kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum.
3. Etika hakim sebagai manusia pribadi manusia pribadi anggota masyarakat.
Uraian Kode Etik Hakim meliputi :
1. Etika keperibadian hakim
2. Etika melakukan tugas jabatan
3. Etika pelayanan terhadap pencari keadilan
4. Etika hubungan sesama rekan hakim
5. Etika pengawasan terhadap hakim.
Dari kelima macam uaraian kode etik ini akan kita lihat apakah Kode Etik Hakim memiliki upaya paksaan yang berasal dari undang-undang.
1. Etika keperibadian hakim
Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :
a. Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Menjunjung tinggi, citra, wibawa dan martabat hakim
c. Berkelakuan baik dan tidak tercela
d. Menjadi teladan bagi masyarakat
e. Menjauhkan diri dari eprbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat
f. Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim
g. Bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab
h. Berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu
i. Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan)
j. Dapat dipercaya
k. Berpandangan luas
2. Etika melakukan tugas jabatan
Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :
a. Bersikap tegas, disiplin
b. Penuh pengabdian pada pekerjaan
c. Bebas dari pengaruh siapa pun juga
d. Tidak menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan dan wewenang untuk kepentingan pribadai atau golongan
e. Tidak berjiwa mumpung
f. Tidak menonjolkan kedudukan
g. Menjaga wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan
h. Berpegang teguh pada Kode Kehormatan Hakim
3. Etika pelayanan terhadap pencari keadilan
Sebagai pejabat penegak hukum, hakim :
a. Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan di dalam hukum acara yang berlaku
b. Tidak memihak, tidak bersimpati, tidak antipati pada pihak yang berperkara
c. Berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak membeda-bedakan orang
d. Sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan
e. Menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan
f. Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan
g. Memutus berdasarkan hati nurani
h. Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
4. Etika hubungan sesama rekan hakim
Sebagai sesama rekan pejabat penegak hukum, hakim :
a. Memlihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesam rekan
b. Memiliki rasa setia kawan , tenggang rasa, dan saling menghargai antara sesama rekan
c. Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim
d. Menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan , baik di dalam maupun di luar kedinasan
e. Bersikap tegas. Adil dan tidak memihak.
f. Memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya dan hakim atasannya.
g. Memberi contoh yang baik di dalam dan di luar kedinasan.
5. Etika pengawasan terhadap hakim.
Di dalam urusan Kode Kehormatan Hakim tidak terdapat rumusan mengenai pengawasan dan sanksi ini. Ini berarti pengawasan dan sanksi akibat pelanggaran Kode Kehormatan Hakim dan pelanggaran undang-undang. Pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Menurut ketentuan pasal 20 ayat (3) Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum; Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman. [3]
E. KODE KEHORMATAN HAKIM DENGAN UNDANG-UNDANG
1. Kode Kehormatan Hakim
& Tri prasetya hakim Indonesia
Kode kehormatan hakim dikenal dengan "Tri Prasetya Hakim Indonesia". Yaitu ;
"Saya berjanji :
a. Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat Hakim Indonesia;
b. Bahwa saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan Hakim Indonesia;
c. Bahwa saya menjunjung tianggi dan mempertahankan jiwa Korps Hakim Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya di jalan yang benar."
& Perlambang atau sifat hakim
a. KARTIKA (= Bintang, yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa).
b. CAKRA (= Senjata ampuh dari Dewa Keadilan yang mampu memusnahkan segala kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan) berari adil.
c. CANDRA (= Bulan yang menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan dalam kegelapan) berarti bijaksana dan berwibawa.
d. SARI (= Bunga yang semerbak wangi mengharumi kehidupan masyarakat) berarti budi luhur atau berkelakuan tidak tercela.
e. TIRTA (= air, yang membersihkan segala kotoran di dunia) mensyaratkan, bahwa seorang hakim harus jujur.
& Perincian mengenai sifat hakim
a. KARTIKA = Percaya dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. CAKRA = Adil
Dalam kedinasan
1) Adil
2) Tidak berprasangka atau memihak
3) Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan
4) Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani
5) Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan
Di luar kedinasan
1) Saling harga menghargai
2) Tertib dan lugas
3) Berpandangan luas
4) Mencari saling pengertian
c. CANDRA = Bijaksana / Berwibawa
Dalam kedinasan
1) Berkepribadian
2) Bijaksana
3) Berilmu
4) Sabar dan Tegas
5) Berdisiplin
6) Penuh pengabdian pada pekerjaan
Di luar kedinasan
1) Dapat dipercaya
2) Penuh rasa tanggung jawab
3) Menimbulkan rasa hormat
4) Anggun dan berwibawa
d. SARI = Berbudi luhur / berkelakuan tidak tercela
Dalam kedinasan
1) Tawakal dan Sopan
2) Ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas
3) Bersemangat ingin maju
4) Tenggang rasa
Di luar kedinasan
1) Berhati-hati dalam pergaulan hidup
2) Sopan dan susila
3) Menyenangkan dalam pergaulan
4) Tenggang rasa'
5) Berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekelilingnya
e. TIRTA = Jujur
Dalam kedinasan
1) Jujur
2) Merdeka = tidak membeda-bedakan orang
3) Bebas dari pengaruh siapa pun juga
4) Tabah
Di luar kedinasan
1) Tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan
2) Tidak boleh berjiwa mumpung
3) Waspada [4]
2. Hubungan Kode Kehormatan Hakim Dengan Undang-Undang
Jabatan hakim diatur dengan undang-undang, yaitu UU No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Seorang yang menjabat hakim harus mematuhi undang-undang dan berpegang pada Kode Kehormatan Hakim. Hubungan antara undang-undang dan Kode Kehormatan Hakim terletak pada ketentuan Kode Kehormatan Hakim yang juga diatur dalam undang-undang, sehingga sanksi pelanggaran undang-undang diberlakukan juga pada pelanggaran Kode Kehormatan Hakim.
Apabila menurut Majelis Kehormatan Hakim ternyata seorang hakim terbukti telah melakukan pelanggaran, maka berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1), hakim yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. Dipidana karena bersalah melakukan tindakan pidana kejahatan.
b. Melakukan perbuatan tercela.
c. Terus menerus melalaikan kewajiban menjalankan tugas pekerjaan.
d. Melanggar sumpah atau janji jabatan.
e. Melanggar larangan pasal 18 (rangkap jabatan)
Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dilakukan setelah hakim yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Menurut penjelasan pasal tersebut:
a. Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
b. Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim.
c. Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas yang dibebankan kepada hakim yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tadi dapat disimpulkan bahwa sanksi undang-undang adalah juga sanksi Kode Kehormatan Hakim yang dapat dikenakan kepada pelanggarnya. Dalam hal ini, Kode Kehormatan Hakim juga menganut prinsip penundukan pada undang-undang.[5]
F. KEKUASAAN KEHAKIMAN
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dalam pengertian di dalam keuasaan kehakiman bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva dan rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang-Undang. Kebebasan dalam pelaksanaan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasil dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapinya sehingga keputusannya mencerminkan persaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Penyelenggaraan Kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan Peradilan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Dalam hal ini kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara adalah peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.
Sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata maupun pidana.
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. [6]


KESIMPULAN
ÿ Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim disebut juga kode kehormatan hakim.
ÿ Tugas hakim adalah :
1. Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
2. Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana.
ÿ Tanggung jawab hakim ada 2 yaitu :
1. Tanggung jawab kepada penguasa
2. Tanggung jawab kepada Tuhan
ÿ Kode kehormatan hakim dikenal dengan "Tri Prasetya Hakim Indonesia". Yaitu :
"Saya berjanji :
a. Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat Hakim Indonesia;
b. Bahwa saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan Hakim Indonesia;
c. Bahwa saya menjunjung tianggi dan mempertahankan jiwa Korps Hakim Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya di jalan yang benar."
ÿ Perlambang sifat hakim yaitu : KARTIKA = Percaya dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, CAKRA = Adil, CANDRA = Bijaksana / Berwibawa, SARI = Berbudi luhur / berkelakuan tidak tercela, dan TIRTA = Jujur
Lampiran
UU NO 35 TAHUN 1999 TENTANG "KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN"
Isi UU No 14 tahun 1970 yang disempurnakan
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Pasal 2
1. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-Badan Peradilan dan ditetapkan dengan Undang-Undang dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
2. Tugas lain daripada yang tersebut pada ayat (1) dapat diberikan kepadanya berdasarkan peraturan perundangan
Pasal 3
1. Semua peradilan diseluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.
2. Peradilan dilakukan dengan sederhana; cepat menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila
Pasal 4
1. Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
3. Segala campur tangan dalam peradilan dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan Kehakiman di larang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang Dasar
Pasal 5
1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
2. Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pasal 6
1. Tiada seorang juapun dapat dihadapkan di Pengadilan selain daripada yang ditentukan baginya oleh Undang-Undang.
2. Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Pasal 7
Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-Undang
Pasal 8
Setiap orang, yang disangka ditangkap, ditahan, dituntut, dan /atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuasaan hukum yang tetap.
Pasal 9
1. Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupundiadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
2. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dapat dipidana.
3. Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.
BAB II
BADAN-BADAN PERADILAN
DAN ASAS-ASASNYA
Pasal 10
1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
2. Mahkamah agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
3. Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung.
4. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Pasal 11
1. Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1), secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
2. Ketentuan mengenai organisatoris, administratif, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang sesuai dengan keksususan peradilan masing-masing
Pasal 11A
1. Pengalihan organisasi, administratif, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
2. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
3. Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud ayat (1), ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Pasal 12
Susunan, Kekuasaan serta Acara dari Badan-Badan Peradilan seperti tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
Pasal 13
Badan-badan peradilan khusus di samping badan-badan Peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan Undang-Undang.
Pasal 14
1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya.
2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Pasal 15
1. Semua Pengadilan memeriksa dan meutuskan dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain.
2. Di antara para Hakim tersebut dalam ayat (1) seorang bertindak sebagai Ketua, dan lainnya sebagai Hakim Anggota sidang.
3. Sidang dibantu oleh seorang Panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan Panitera.
4. Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang Penuntut Umum, kecuali apabila ditentukan lain dengan Undang-Undang.
Pasal 16
Pengadilan memeriksa dan memutus perkara dengan hadirnya tertuduh, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain.
Pasal 17
1. Sidang memeriksa Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain.
2. Tidak dipenuhi ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya putusan menurut hukum.
3. Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
Pasal 18
Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 19
Atas semua putusan Pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain.
Pasal 20
Atas putusan Pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang diatur dalam Undang-Undang.
Pasal 21
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dilakukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara-perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Pasal 22
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Kewenangan Pengadilan Umum untuk mengadili perkara-perkara yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional atau Polisi Republik Indonesia bersama-sama dengan orang sipil pada hakekatnya merupakan suatu kekecualian atau penyimpangan dari ketentuan, bahwa seorang semestinya diadili di sidang pengadilan masing-masing.
Hal tersebut merupakan kekcualian, maka kewenangan pengadilan Umum tersebut terbatas pada bentuk-bentuk pernyataan dalam suatu delik, seperti sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP.
Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan Peradilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas tersebut. Pernyataan pada suatu delik militer yang murni oleh orang sipil dan perkara pernyataan, di mana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan pengadilan lain daripada Pengadilan Umum, ialah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara demikian. Jika dalam hal perkara diadili oleh Pengadilan Militer, maka susunan Hakim adalah dari Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Dalam hal ini kepentingan Justiciabel tetap mendapatkan perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan Hakim yang bersidang. Dalam waktu perang di mana berlaku hukum eksepsional ataupun hukum luar biasa, meskipun tindak pidana itu dilakukan bersama-sama dengan seorang sipil, anggota Tentara Nasional atau Polisi Republik Indonesia tidak ditarik dari pengadilannya.
Pasal 23
1. Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
2. Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh Ketua serta Hakim-hakim yang memutus dan Panitera yang ikut serta bersidang.
3. Penetapan-penetapan, ikhtisar-ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh Ketua dan Panitera.
Pasal 24
Untuk kepentingan peradilan semua Pengadilan wajib memberi bantuan yang diminta.
BAB III
HUBUNGAN LEMBAGA PENGADILAN DAN LEMBAGA
NEGARA LAINNYA
Pasal 25
Semua pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta.
Pasal 26
1. Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Putusan tentang pernyataan tidak sahnya menurut peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan ditingkat kasasi.
BAB IV
HAKIM DAN KEWAJIBANNYA
Pasal 27
1. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
2. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.
Pasal 28
1. Pihak yang diadali mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Hak ingkar adalah hak seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan-keberatan yang disertai dengan alasan-alasan terhadap seorang hakim yang akan mengadili eprkaranya. Putusan mengenai hal tersebut dilakukan oleh Pengadilan.
2. Apabila seorang Hakim masih terikat hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan Ketua, salah seorang hakim Anggota, Jaksa, Penasehat Hukum atau Panitera dalam suatu perkara tertentu, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan itu.
3. Begitu pula apabila Ketua, Hakim Anggota, Penuntut Umum atau Panitera masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda denganyang diadili, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan itu.
Pasal 29
Sebelum melakukan jabatannya, Hakim, Panitera, Panitera Pengganti dan Jurusita untuk masing-masing lingkungan peradilan harus disumpah atau berjanji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah / berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah / berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah / berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah / berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Anggota Mahkamah Agung yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
BAB V
KEDUDUKAN PEJABAT EPRADILAN
(PENGADILAN)
Pasal 30
Syarat-syarat untuk dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Hakim dan tata cara pengangkatannya dan pemberhentiannya ditentukan dengan Undang-undang.
Pasal 31
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara.
Pasal 32
Hal-hal mengenai pangkat, gaji, dan tunjangan Hakim, diatur dengan peraturan tersendiri.
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 33
1. Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
2. Pengawasan pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut ayat (1) oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan, diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
3. Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
4. Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.
Pasal 34
Pelaksanaan putusan Pengadilan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
BANTUAN HUKUM
Pasal 35
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Pasal 36
Dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan / atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum.
Pasal 37
Dalam memberi bantuan hukum tersebut pada pasal 36 di atas, penasihat hukum membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan menjungjung tinggi Pancasila, hukum dan keadilan.
Pasal 38
Ketentuan-ketentuan dalam pasal 35, 36, dan 37 tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 39
Penghapusan Pengadilan adat dan swapraja dilakukan oleh Pemerintah.
Pasal 40
Semua peraturan-peraturan yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang bertentangan dengan Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40A
Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40, semua ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan pasal 11 atau yang berkaitan dengan pasal 22 masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru.
Pasal 41
Undang-undang ini dinamakan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya pada Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Desember 1970[7]
DAFTAR PUSTAKA
& Kansil, C.S.T. Drs, S.H., 1986, Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK), Jakart: PT. Bina Aksara.
& Muhammad, Abdul Kadir, Prof S.H., 2001, Etika Profesi Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
& Sumaryono,E, 1995, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta : Kanisius.
& UU RI No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan, dan UU N0 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Beserta Penjelasannya, Surabaya : Karina, 2003.



[1] Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm 101.
[2] C.S.T. Kansil, Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK), Jakart: PT. Bina Aksara, 1986, hlm. 18 - 19
[3] Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, hlm 102 - 104
[4] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995, hlm. 175 - 177
[5] Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 104 - 105
[6] C.S.T Kansil, Op. Cit, hlm. 8 - 12
[7] UU RI No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU. No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan, dan UU N0 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Beserta Penjelasannya, Surabaya : Karina, 2003, hlm. 130 – 150.

Posting Komentar

0 Komentar